AGAMA DAN VENOMENA GERAKAN – GERAKAN BARU
REVIVALISME AGAMA
( Interdisciplinary approach )
I. Revivalisme Agama secara Teoritis
Revivalisme dari kata revival atau perubahan, Revivalisme merupakan gerakan kebangunan kembali. Dalam Kekristenan revival adalah gerakaan kembali kepada teks-teks yang dianggap suci yaitu Alkitab (bac to bible). Sebagai vundamet, tempat berpijak dan sebagai titik berangkat. Juga sebagai dasar dari segala sesuatu. Karena itu agama di anggap suci. Dan tidak bisa ada dalam sekuralisasi.
II. Penyabab munculnya Revivalisme Agama
Revivalisme yang muncul adalah respon terhadap sekularisme. Seruan agar kembali kepada ajaran agama yang murni kembali digaungkan. Dalam pengertian Goenawan Mohamad, kaum revivalis adalah mereka yang mendukung kembalinya keimanan ke dalam “keaslian” iman yang semestinya, “keaslian” yang dimaksud adalah “kemurnian” teks. Gerakan ini muncul karena agama menemukan dirinya bukan lagi menjadi satu-satunya penjaga kebenaran dan keadilan. Kaum revivalis beramai-ramai menyerukan kembalinya ke teks-teks Kitab Suci yang murni. Tetapi mereka juga lupa bahwa teks-teks kitab suci yang murni itu, begitu rentan terhadap kemelesetan bahasa yang sangat sulit dihindari. Hal lain yang tidak disadari adalah teks-teks suci dan murni itu juga diterapkan oleh manusia dalam dunia (manusia) yang tidak terbebas dari unsur kepentingan. Bagi kaum revivalis, dunia ini telah dipenuhi oleh tumor-tumor ganas dari gerakan sekularisme yang berkembang begitu cepat di seluruh penjuru dunia. Mereka tidak berhenti mengumandangkan bahwa dunia ini tidak akan hancur dan menderita total, sepanjang mereka yang menjadi dokternya. Melihat situasi ini, mereka sesungguhnya telah mengalami trauma besar, sebab gerakan itu adalah tanda kegelisahan dan ketakutan, seolah-olah sekularisme adalah musuh yang harus dihabisi tanpa banyak pertingsih. Bagi kaum revivalis, sekularisme adalah musuh besar agama, karena itu harus dibasmi habis. Sepertinya tidak ada yang baik dalam sekularisme.
Kendati agama menyebut dirinya sakral, ia juga mendapatkan bahwa dirinya secara perlahan-lahan telah disingkirkan dari percaturan dunia. Agama bukan lagi satu-satunya hakim yang dapat memutuskan keadilan dan kebenaran. Agama telah menjadi salah satu bagian dari banyak institusi yang
mengklaim diri sebagai bagian dari dunia. Agama telah setara dengan institusi-institusi lainnya yang sifatnya sekular dan profan. Gerakan sekularisme sumbangan Barat ini telah menjadi gagasan universal yang menerabas batas-batas geografis dan kultur. Akhirnya sekulrisme pun berubah wajah. Ia memiliki seribu wajah. Di setiap negara dan bangsa, mengalami multitafsir dan makna, di India misalnya, bentuknya berbeda dengan model liberal Barat yang tidak mengenal komunitas-komunitas, dan memaksakan pemisahan tegas antara lembaga agama dan lembaga politik.
III. Kapan ( Dalam konteks bagaimana ) suatu Rervival ( kebangunan ) agama terjadi dalam komunitas agama itu?
Seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan pesatnya perkembangan industri, teknologi dan pertambahan penduduk, permasalahan sosial yang muncul di tengah masyarakat pun semakin kompleks. Kalau zaman dulu yang dianggap masalah sosial habya fakir miskin, orang cacat, anak terlantar, maka di tengah era modernisasi, masalah sosial hanya fakir miskin, orang cacat, anak terlantar, maka di tengah era modernisasi, masalah sosial pun berkembang. Saat ini, pengangguran, perceraian, ketergantungan obat terlarang dan narkotika, buruknya kesehatan masyarakat, kekurangan gizi, kerusakan lingkungan, bencana alam dan sebagainya
IV. Apa dampak internal ( komunitas ) maupun eksternal ( sosio politis ) revivalisme agama?
1. Dampak Internal ( Komunitas )
Kebangkitan kaum fundamentalisme dalam hal keagamaan. Dampak paling kentara dengan munculnya kesadaran naif dalam praksis beragama adalah lebih seringnya para misionaris dan pendakwah berangkat dari pembangunan kesadaran beragama dari domain politik yang sarat akan tipu muslihat dan mencari pembenaran terhadap tata dunia yang terjadi serta menafsirkannya dalam usaha membangun kesadaran beragama. Kesadaran seperti ini cenderung menghasilkan pemahaman yang reduksionistis dan partikular dan pada titik ekstrem berujung pada pemahaman yang keliru dari inti sebuah ajaran agama. kesadaran beragama ditelikung menjadi kesadaran politis profan yang bertendensi sebagai alat politik dan propaganda kelompok tertentu yang mengatasnamakan otoritas ketuhanan. Kesadaran naif yang merajalela dalam kesadaran beragama di Indonesia menyebabkan hilangnya praksis fleksibilitas dalam beragama dalam masyarakat plural Indonesia. Praksis-praksis fleksibilitas seperti toleransi dan saling menghormati sesama umat beragama semakin memudar dari wajah plural masyarakat Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa kaum revivalisme dalam umat beragama masih berada pada domain revivalisme kesadaran naif dan hingga kini belum terlihat upaya-upaya membangun proyek revivalisme kesadaran kritis beragama. Sepertinya ada ketakutan dalam benak penyebar agama bahwa dengan munculnya kritisisme di umatnya maka akan menimbulkan keragu-raguan yang bisa menyebabkan hilangnya loyalitas dalam memenuhi perintah-perintah agama. Max Horkheimer pernah menyimpulkan bahwa masa depan kemanusiaan tergantung pada adanya sikap kritis dewasa ini. Dengan kata lain, kemanusiaan kita diukur dari sejauh mana masyarakat mempraktekkan kritisismenya dalam praksis bermasyarakat dan terlebih praksis beragama. Tinimbang domain profan,
penguatan kehadiran Agama seharusnya berada pada domain transendental yang dengan begitu akan langsung berefek pada domain profan. Penumbuhan kesadaran transendetal harus dijadikan proyek agama-agama untuk menjadikan agama menjadi suatu yang berwarna tidak sekedar hitam-putih. Tentu juga harus ada garis pembatas yang tegas antara domain profan dengan domain transendental dalam wilayah keberagamaan sehingga tidak terjadi penelikungan-penelikungan agama untuk kepentingan-kepentingan profan belaka. Kesadaran beragama yang dimunculkan melalui pendekatan politis dan pendekatan yang mensimplifikasikan fenomena-fenomena sosial yang kompleks sudah saatnya ditinggalkan. Pendekatan-pendekatan seperti itu terbukti hanya menghasilkan kecacatan dalam kesadaran beragama kita. Sudah saatnya, kaum beragama untuk tidak takut akan pemikiran kritis dalam kesadaran beragama. filsuf Kristen Hans Kung menyatakan bahwa no dialogue between religions without investigating the foundation of the religions. Maka dalam kasus keberagamaan di Indonesia, bukan fondasi agamanya yang menjadi akar dari permasalahan antar umat bergama namun kesadaran akan semesta transendental yang dicerap secara naif lah yang merupakan ujung pangkal dari krisis praksis beragama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Akhirnya, dengan menanamkan kesadaran kritis dalam praksis beragama dalam masyarakat, relasi antar umat bergama dapat mengarah kepada sesuatu yang bersifat konstruktif. Agama tidak lagi menjadi lokomotif bagi munculnya konflik dalam masyarakat tetapi menjadi Elan Vital bagi pembangunan spiritual bangsa yang sedang menghadapi berbagai cobaan dari Tuhan Yang Mahakuasa ini.
2. Dampak Internal ( Sosio – Politik )
Permasalahan sosial yang muncul di tengah masyarakat pun semakin kompleks. Kalau zaman dulu yang dianggap masalah sosial habya fakir miskin, orang cacat, anak terlantar, maka di tengah era modernisasi, masalah sosial hanya fakir miskin, orang cacat, anak terlantar, maka di tengah era modernisasi, masalah sosial pun berkembang. Saat ini, pengangguran, perceraian, ketergantungan obat terlarang dan narkotika, buruknya kesehatan masyarakat, kekurangan gizi, kerusakan lingkungan, bencana alam dan sebagainya sudah masuk kategori masalah sosial yang butuh perhatian gereja. pelayanan kesejahteraan sosial pun berkembang dari yang bersifat tradisional kepada sifat lebih profesional. Pelayanan pekerjaan sosial profesional ini ditandai dengan bergesernya pendekatan pelayanan kesejahteraan sosial dari pendekatan tradisional kepada pendekatan institusional (kelembagaan). Kalau pada pelayanan kesejahteraan sosial tradisional, usaha-usaha pertolongan terhadap penyandang masalah sosial hanya dilakukan terhadap kelompok terbatas, secara insidenti dan tanpa organisasi dan rencana formal.Sesuai dengan konsep palayanan kesejahteraan sosial profesional, pendekatan pelayanan kesejahteraan sosial harus bersifat institusional atau melembaga. Artinya pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial dilaksanakan secara konsisten, terencana dan melalui lembaga. Berdasarkan pendekatan institusional tersebut, pelayanan kesejahteraan sosial sudah harus dilakukan melalui pembentukan suatu lembaga yang memiliki manajemen profesional. Artnya pendekatan pelayanan kesejahteraan sosial profesional, pertolongan dilakukan secara terencana, memiliki lembaga seperti panti sosial. Kemudian sasaran pelayanan menyeluruh atau diberikan kepada semua penyandang masalah kesejahteraan sosial sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan. Hal tersebut mutlak dilaksanakan karena sesuai konsep pelayanan kesejahteraa profesional, usaha-usaha kesejahteraan sosial harus dimulai dari kegiatan pencegaha (preventif), penyembuhan (kuratif), pemulihan (rehabilitatif), pengembangan (promotion) dan penunjang (Supporting) Tahapan pelayanan kesejahteraan sosial itu mutlak dalam pelayanan kesejahteraan sosial profesional, karena tujuan pelayanan kesejahteraan sosial profesional bukan sekadar memberikan bantuan. Tujuan utama pelayanan kesejahteraan sosial profesional ialah meningkatkan kemandirian individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan fisik, sosial, psikologis dan rohani serta meningkatkan kemampuan mengatasi masalah. Melalui kemandirian memenuhi kebutuhan hidup dan memecahkan masalahnya itu, maka individu, keluarga, kelompok dan masyarakat akan dapat melaksanakan fungsinya sesuai fungsi dan peranannya dalam masyarakat.
Politik
Dulu orang Kristen dan gereja beranggapan politik itu kotor dan duniawi, maka harus dijauhi. Core business gereja adalah membina kerohanian umat, bukan mengurusi barang dunia fana itu. Tetapi sekarang terjadi perubahan yang cukup mencengangkan. Tidak sedikit orang Kristen, pendeta bahkan gereja yang tiba-tiba gandrung pada politik. Bahkan juga mencalonkan diri baik sebagai anggota legislatif maupun eksekutif, di tingkat lokal maupun nasional, sekalipun belum tentu memiliki pengalaman, pengetahuan dan kemampuan politik yang memadai.
Faktor-faktor penyebab gereja bersikap negatif terhadap politik
Kebanyakan gereja-gereja Kristen protestan di Indonesia adalah hasil pekabaran Injil yang dilakukan oleh badan-badan zending Belanda yang beraliran calvinis . Pada awalnya aliran ini tidaklah anti-politik. Calvin memang membedakan dengan tegas antara kekuasaan politik (dalam hal ini adalah pemerintah) dengan Kerajaan Allah, namun Calvin tidak memandang politik sebagai sesuatu yang kotor dan mesti dijauhi. Malahan Calvin sangat menjunjung tinggi kehidupan politik, sebagaimana ia tuliskan: kekuasaan politik itu adalah suatu panggilan, yang tidak hanya suci dan sah di hadapan Allah, tetapi juga yang paling kudus dan yang paling terhormat di antara semua panggilan dalam seluruh lingkungan hidup orang-orang fana Penghormatan ini berangkat dari pemikiran bahwa politik atau pemerintahan merupakan sarana untuk menegakkan apa yang baik dan benar, melindungi orang-orang yang benar dan menghukum siapa saja yang bersalah. Dengan adanya kekuasaan politik, diharapkan kehidupan masyarakat dapat berjalan dengan tertib, sehingga setiap orang dapat menjalani kehidupannya dengan tenteram. Dalam kaitan dengan fungsi politik ini pulalah, Calvin berbicara tentang hubungan gereja dan negara. Bagi Calvin negara berfungsi melindungi dan memajukan gereja yang benar serta memerangi dan mencegah penyebaran agama-agama palsu. Namun bukan berarti bahwa Calvinmenganut paham “gereja-negara”. Pemahaman Calvin lebih didasari atas pertimbangan bahwa bagaimanapun juga negara mesti tunduk pada firman Allah. Itu sebabnya mereka harus turut serta dalam memajukan gereja yang benar. Sekalipun Calvin dan calvinis mula-mula tidaklah anti-politik, namun kita perlu menyadari bahwa calvinis yang masuk ke Indonesia telah diwarnai pula oleh semangat pietisme yang sangat berpengaruh di Eropa – khususnya di Belanda dan Jerman – sejak abad 18.5 Pietisme yang berasal dari kata Latin pietas yang artinya “kesalehan” sangat menekankan tiga hal utama: kelahiran kembali, pertobatan dan kekudusan hidup (baca: moralitas). Dari situ kita bisa melihat ciri lain dari semangat pietisme ini, yaitu individualistik. Kesalehan individu mendapatkan tekanan yang sangat besar. Akibatnya kesalehan sosial tidak mendapat tempat sama sekali dalam semangat pietisme ini.
Politik: negatif ataukah positif?
Pandangan yang mengatakan bahwa politik itu kotor dan berlumuran dosa sebenarnya keliru, namun dapat dipahami. Sepak terjang (sebagian) aktor politik yang seringkali tidak memberikan citra positif atas dunia ini ikut menguatkan paham yang keliru ini. Padahal sebenarnya politik sama dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan manusia. Ia bahkan juga dapat disamakan dengan kegiatan pelayanan gerejawi. Sesuatu yang mestinya mulia dan luhur, namun bukankah pelayanan gerejawi pun dapat diselewengkan untuk maksud-maksud yang tidak terpuji Secara epistemologi, politik berasal dari kata polites artinya penduduk (citizen). Terkait dengan itu politik sangat berkaitan dengan kemampuan untuk mengelola, menyusun maupun membuat kesepakatan dalam kerangka kehidupan bersama sebuah masyarakat. Aktifitas politik ditujukan untuk menciptakan dan melaksanakan pranata-pranata sosial dan normatif yang memungkinkan masyarakat manusia hidup dengan tertib, aman, tenteram dan sejahtera. Agar supaya efektif dibutuhkanlah otoritas atau kekuasaan. Karena politik pada akhirnya berhubungan dengan kekuasaan, maka tidak mengherankan bila politik juga disalah-gunakan semata untuk mengejar dan merebut kekuasaan belaka. Dan semakin besar sebuah kekuasaan digenggam, seperti kata Lord Acton, semakin besar pula tendensi penyimpangannya. Tanpa kontrol dan pembatasan, akan mudah terjadi abuse of power. Untuk itu tidak hanya dibutuhkan sistem dan aturan main politik (konstitusi, undang-undang dan perangkat hukum yang lain) yang baik, tetapi juga dibutuhkan etika politik. Sejarah manusia sudah membuktikan bahwa ketika politik dijalankan tanpa etika, maka yang terjadi bukanlah kemaslahatan masyarakat umum, melainkan krisis keadilan, kemanusiaan dan ketentraman
Etika Politik dan konteksnya
Dalam etika, konteks memainkan peranan amat penting. Konteks kita adalah Indonesia dan Indonesia adalah bagian dari Asia. Salah satu ciri khas dari Asia adalah peran agama yang menonjol dalam kehidupan masyarakatnya. Anwar Barkat, seorang pakar ilmu politik dari Pakistan, dalam konsultasi yang diadakan oleh Dewan Gereja-gereja Dunia tentang etika politik di Cyprus mengatakan bahwa sekalipun Asia memiliki keragaman budaya, agama dan pengalaman sejarah, namun ada beberapa kesamaan yang cukup menonjol di antara bangsa-bangsa di Asia, yaitu: sebagian besar pernah menjadi wilayah jajahan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika, dan kedua, agama memainkan peranan penting dalam masyarakat Asia. Bagi masyarakat Asia, sumber etika politik tidaklah berasal dari filsafat-filsafat positivistik sebagaimana dilakukan oleh masyarakat Eropa, melainkan dari agama atau refleksi filosofis yang berorientasi pada agama. Berbeda dengan masyarakat barat yang amat dipengaruhi oleh budaya dan tradisi Yudeo-Kristen, sehingga masyarakatnya relatif lebih homogen, tidak demikian dengan Asia. Dalam keberagaman Asia, khususnya Indonesia setiap tradisi keagamaan tentunya harus mendapat ruang yang cukup untuk menyatakan pemikiran-pemikiran etisnya. Upaya-upaya dari kelompok tertentu yang mencita-citakan negara-agama, atau mendominasi kebijakan-kebijakan politik dengan warna tradisi keagamaan tertentu, sudah pasti tidak akan menciptakan kondisi yang adil, benar dan dengan demikian juga tidak akan menciptakan perdamaian. Karena politik menyangkut hajat hidup orang banyak, maka sudah seharusnya politik itu diarahkan dan dimanfaatkan untuk menciptakan kesejahteraan bagi semua orang, atau at least sebanyak mungkin orang. Pada titik inilah politik membutuhkan sumbangan etika dari berbagai tradisi keagamaan yang dianut oleh masyarakatnya. Karena konsep tentang yang baik, adil, benar dan menyejahterakan bisa berbeda-beda antara satu tradisi keagamaan dengan tradisi keagamaan yang lain. Selain dari keberagaman tadi, Indonesia juga memiliki aspek lain yang harus diperhatikan secara serius yaitu kemiskinan.
Etika politik Kristen
Dalam kesempatan yang amat terbatas ini tidak mungkin kita membicarakan secara mendetil etika Kristen dalam bidang politik. Oleh karena itu di sini hanya akan dipaparkan beberapa prinsip dasar dalam perumusan etika Kristen dalam bidang politik. Untuk itu saya akan merujuk pada hasil-hasil konsultasi yang diadakan oleh WCC di Cyprus yang membicarakan masalah etika politik tersebut. Dalam konsultasi itu disepakati beberapa hal penting dan mendasar berkaitan dengan pokok pembicaraan kita, yaitu: 1. Perlunya pemahaman yang holistik mengenai kesaksian alkitabiah Seperti telah disinggung di atas bahwa pendasaran etika Kristen hanya pada bagian-bagian tertentu saja dari kesaksian Alkitab, tidaklah memadai. Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan dan pemahaman yang lebih holistik atas isi Alkitab. Pendekatan yang holistik akan menolak segala bentuk absolutisasi atas bagian-bagian tertentu dalam Alkitab, menerima dan menggunakan secara kreatif kepelbagaian kontekstual, dan fokus utama pada kesaksian biblis tentang Yesus Kristus dan Kerajaan Allah. Penekanan atas keutuhan dan keseluruhan Alkitab tidak berarti mengabaikan berbagai tekanan yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dalam Alkitab. 2. Keterkaitan antara yang historis dengan yang eskatologis Umat beriman yang hidup di dalam dunia ini berada dalam konteks sejarah. Ia bagian dari sejarah dan dengan demikian menjadi bagian pula dari realitas politik yang ada baik lokal maupun global. Namun pada saat yang sama setiap orang beriman juga hidup dalam janji dan pengharapan eskatologis. Tugas umat beriman adalah menjaga ketegangan ini secara kreatif. Benar bahwa kedua realitas ini berbeda; segala tindakan manusia dalam sejarah bersifat relatif, dan semuanya itu harus dilihat dalam terang tindakan Allah yang akan menggenapi janji eskatologisNya. Oleh karena itu segala tindakan politik umat beriman juga harus senantiasa dilakukan dalam terang dan mengacu pada janji eskatologis Allah yang akan menghadirkan KerajaanNya secara sempurna. 3. Dua simbol kunci Dua simbol kunci penting dalam rangka memahami etika politik Kristen adalah, pertama, simbol yang diambil dari Perjanjian Lama, yaitu komunitas perjanjian (covenant community). Simbol ini melambangkan hubungan yang baik antara Allah dengan umatNya. Dan relasi tersebut menjadi dasar dari pemahaman (alkitabiah) tentang keadilan, kebenaran dan perdamaian (shalom). Simbol yang kedua adalah kerajaan atau komunitas mesianis (messianic community or kingdom). Sekalipun simbol kedua ini berakar pada simbol yang pertama, namun ia juga memiliki identitas dan integritas sendiri. Kerajaan mesianis adalah komunitas mesianis dari suatu perjanjian baru di dalam Yesus Kristus. Dan ia mengarah pada suatu komunitas tanpa kekuasaan untuk mendominasi, dan komunitas yang di dalamnya janji Allah untuk tinggal di antara umatNya tergenapi, sehingga umat memerintah bersama dengan Mesias. Manifestasi dari komunitas ini bermuara pada salib Kristus, Mesias yang menderita. Inilah simbol eskatologis dan ia tidak bisa diubah begitu saja ke dalam ideologi politik dalam realitas historis. Tetapi simbol ini penting untuk menjaga agar supaya umat beriman tetap memiliki perspektif kritis dalam menafsirkan sejarah politik dan memelihara suatu visi yang berpengharapan yang melampaui pengharapan-pengharapan historis.