Selasa, 20 Juli 2010

REVIVALISME AGAMA

AGAMA DAN VENOMENA GERAKAN – GERAKAN BARU

REVIVALISME AGAMA

( Interdisciplinary approach )

I. Revivalisme Agama secara Teoritis

Revivalisme dari kata revival atau perubahan, Revivalisme merupakan gerakan kebangunan kembali. Dalam Kekristenan revival adalah gerakaan kembali kepada teks-teks yang dianggap suci yaitu Alkitab (bac to bible). Sebagai vundamet, tempat berpijak dan sebagai titik berangkat. Juga sebagai dasar dari segala sesuatu. Karena itu agama di anggap suci. Dan tidak bisa ada dalam sekuralisasi.

II. Penyabab munculnya Revivalisme Agama

Revivalisme yang muncul adalah respon terhadap sekularisme. Seruan agar kembali kepada ajaran agama yang murni kembali digaungkan. Dalam pengertian Goenawan Mohamad, kaum revivalis adalah mereka yang mendukung kembalinya keimanan ke dalam “keaslian” iman yang semestinya, “keaslian” yang dimaksud adalah “kemurnian” teks. Gerakan ini muncul karena agama menemukan dirinya bukan lagi menjadi satu-satunya penjaga kebenaran dan keadilan. Kaum revivalis beramai-ramai menyerukan kembalinya ke teks-teks Kitab Suci yang murni. Tetapi mereka juga lupa bahwa teks-teks kitab suci yang murni itu, begitu rentan terhadap kemelesetan bahasa yang sangat sulit dihindari. Hal lain yang tidak disadari adalah teks-teks suci dan murni itu juga diterapkan oleh manusia dalam dunia (manusia) yang tidak terbebas dari unsur kepentingan. Bagi kaum revivalis, dunia ini telah dipenuhi oleh tumor-tumor ganas dari gerakan sekularisme yang berkembang begitu cepat di seluruh penjuru dunia. Mereka tidak berhenti mengumandangkan bahwa dunia ini tidak akan hancur dan menderita total, sepanjang mereka yang menjadi dokternya. Melihat situasi ini, mereka sesungguhnya telah mengalami trauma besar, sebab gerakan itu adalah tanda kegelisahan dan ketakutan, seolah-olah sekularisme adalah musuh yang harus dihabisi tanpa banyak pertingsih. Bagi kaum revivalis, sekularisme adalah musuh besar agama, karena itu harus dibasmi habis. Sepertinya tidak ada yang baik dalam sekularisme.

Kendati agama menyebut dirinya sakral, ia juga mendapatkan bahwa dirinya secara perlahan-lahan telah disingkirkan dari percaturan dunia. Agama bukan lagi satu-satunya hakim yang dapat memutuskan keadilan dan kebenaran. Agama telah menjadi salah satu bagian dari banyak institusi yang

mengklaim diri sebagai bagian dari dunia. Agama telah setara dengan institusi-institusi lainnya yang sifatnya sekular dan profan. Gerakan sekularisme sumbangan Barat ini telah menjadi gagasan universal yang menerabas batas-batas geografis dan kultur. Akhirnya sekulrisme pun berubah wajah. Ia memiliki seribu wajah. Di setiap negara dan bangsa, mengalami multitafsir dan makna, di India misalnya, bentuknya berbeda dengan model liberal Barat yang tidak mengenal komunitas-komunitas, dan memaksakan pemisahan tegas antara lembaga agama dan lembaga politik.

III. Kapan ( Dalam konteks bagaimana ) suatu Rervival ( kebangunan ) agama terjadi dalam komunitas agama itu?

Seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan pesatnya perkembangan industri, teknologi dan pertambahan penduduk, permasalahan sosial yang muncul di tengah masyarakat pun semakin kompleks. Kalau zaman dulu yang dianggap masalah sosial habya fakir miskin, orang cacat, anak terlantar, maka di tengah era modernisasi, masalah sosial hanya fakir miskin, orang cacat, anak terlantar, maka di tengah era modernisasi, masalah sosial pun berkembang. Saat ini, pengangguran, perceraian, ketergantungan obat terlarang dan narkotika, buruknya kesehatan masyarakat, kekurangan gizi, kerusakan lingkungan, bencana alam dan sebagainya

IV. Apa dampak internal ( komunitas ) maupun eksternal ( sosio politis ) revivalisme agama?

1. Dampak Internal ( Komunitas )

Kebangkitan kaum fundamentalisme dalam hal keagamaan. Dampak paling kentara dengan munculnya kesadaran naif dalam praksis beragama adalah lebih seringnya para misionaris dan pendakwah berangkat dari pembangunan kesadaran beragama dari domain politik yang sarat akan tipu muslihat dan mencari pembenaran terhadap tata dunia yang terjadi serta menafsirkannya dalam usaha membangun kesadaran beragama. Kesadaran seperti ini cenderung menghasilkan pemahaman yang reduksionistis dan partikular dan pada titik ekstrem berujung pada pemahaman yang keliru dari inti sebuah ajaran agama. kesadaran beragama ditelikung menjadi kesadaran politis profan yang bertendensi sebagai alat politik dan propaganda kelompok tertentu yang mengatasnamakan otoritas ketuhanan. Kesadaran naif yang merajalela dalam kesadaran beragama di Indonesia menyebabkan hilangnya praksis fleksibilitas dalam beragama dalam masyarakat plural Indonesia. Praksis-praksis fleksibilitas seperti toleransi dan saling menghormati sesama umat beragama semakin memudar dari wajah plural masyarakat Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa kaum revivalisme dalam umat beragama masih berada pada domain revivalisme kesadaran naif dan hingga kini belum terlihat upaya-upaya membangun proyek revivalisme kesadaran kritis beragama. Sepertinya ada ketakutan dalam benak penyebar agama bahwa dengan munculnya kritisisme di umatnya maka akan menimbulkan keragu-raguan yang bisa menyebabkan hilangnya loyalitas dalam memenuhi perintah-perintah agama. Max Horkheimer pernah menyimpulkan bahwa masa depan kemanusiaan tergantung pada adanya sikap kritis dewasa ini. Dengan kata lain, kemanusiaan kita diukur dari sejauh mana masyarakat mempraktekkan kritisismenya dalam praksis bermasyarakat dan terlebih praksis beragama. Tinimbang domain profan,

penguatan kehadiran Agama seharusnya berada pada domain transendental yang dengan begitu akan langsung berefek pada domain profan. Penumbuhan kesadaran transendetal harus dijadikan proyek agama-agama untuk menjadikan agama menjadi suatu yang berwarna tidak sekedar hitam-putih. Tentu juga harus ada garis pembatas yang tegas antara domain profan dengan domain transendental dalam wilayah keberagamaan sehingga tidak terjadi penelikungan-penelikungan agama untuk kepentingan-kepentingan profan belaka. Kesadaran beragama yang dimunculkan melalui pendekatan politis dan pendekatan yang mensimplifikasikan fenomena-fenomena sosial yang kompleks sudah saatnya ditinggalkan. Pendekatan-pendekatan seperti itu terbukti hanya menghasilkan kecacatan dalam kesadaran beragama kita. Sudah saatnya, kaum beragama untuk tidak takut akan pemikiran kritis dalam kesadaran beragama. filsuf Kristen Hans Kung menyatakan bahwa no dialogue between religions without investigating the foundation of the religions. Maka dalam kasus keberagamaan di Indonesia, bukan fondasi agamanya yang menjadi akar dari permasalahan antar umat bergama namun kesadaran akan semesta transendental yang dicerap secara naif lah yang merupakan ujung pangkal dari krisis praksis beragama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Akhirnya, dengan menanamkan kesadaran kritis dalam praksis beragama dalam masyarakat, relasi antar umat bergama dapat mengarah kepada sesuatu yang bersifat konstruktif. Agama tidak lagi menjadi lokomotif bagi munculnya konflik dalam masyarakat tetapi menjadi Elan Vital bagi pembangunan spiritual bangsa yang sedang menghadapi berbagai cobaan dari Tuhan Yang Mahakuasa ini.

2. Dampak Internal ( Sosio – Politik )

Permasalahan sosial yang muncul di tengah masyarakat pun semakin kompleks. Kalau zaman dulu yang dianggap masalah sosial habya fakir miskin, orang cacat, anak terlantar, maka di tengah era modernisasi, masalah sosial hanya fakir miskin, orang cacat, anak terlantar, maka di tengah era modernisasi, masalah sosial pun berkembang. Saat ini, pengangguran, perceraian, ketergantungan obat terlarang dan narkotika, buruknya kesehatan masyarakat, kekurangan gizi, kerusakan lingkungan, bencana alam dan sebagainya sudah masuk kategori masalah sosial yang butuh perhatian gereja. pelayanan kesejahteraan sosial pun berkembang dari yang bersifat tradisional kepada sifat lebih profesional. Pelayanan pekerjaan sosial profesional ini ditandai dengan bergesernya pendekatan pelayanan kesejahteraan sosial dari pendekatan tradisional kepada pendekatan institusional (kelembagaan). Kalau pada pelayanan kesejahteraan sosial tradisional, usaha-usaha pertolongan terhadap penyandang masalah sosial hanya dilakukan terhadap kelompok terbatas, secara insidenti dan tanpa organisasi dan rencana formal.Sesuai dengan konsep palayanan kesejahteraan sosial profesional, pendekatan pelayanan kesejahteraan sosial harus bersifat institusional atau melembaga. Artinya pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial dilaksanakan secara konsisten, terencana dan melalui lembaga. Berdasarkan pendekatan institusional tersebut, pelayanan kesejahteraan sosial sudah harus dilakukan melalui pembentukan suatu lembaga yang memiliki manajemen profesional. Artnya pendekatan pelayanan kesejahteraan sosial profesional, pertolongan dilakukan secara terencana, memiliki lembaga seperti panti sosial. Kemudian sasaran pelayanan menyeluruh atau diberikan kepada semua penyandang masalah kesejahteraan sosial sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan. Hal tersebut mutlak dilaksanakan karena sesuai konsep pelayanan kesejahteraa profesional, usaha-usaha kesejahteraan sosial harus dimulai dari kegiatan pencegaha (preventif), penyembuhan (kuratif), pemulihan (rehabilitatif), pengembangan (promotion) dan penunjang (Supporting) Tahapan pelayanan kesejahteraan sosial itu mutlak dalam pelayanan kesejahteraan sosial profesional, karena tujuan pelayanan kesejahteraan sosial profesional bukan sekadar memberikan bantuan. Tujuan utama pelayanan kesejahteraan sosial profesional ialah meningkatkan kemandirian individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan fisik, sosial, psikologis dan rohani serta meningkatkan kemampuan mengatasi masalah. Melalui kemandirian memenuhi kebutuhan hidup dan memecahkan masalahnya itu, maka individu, keluarga, kelompok dan masyarakat akan dapat melaksanakan fungsinya sesuai fungsi dan peranannya dalam masyarakat.

Politik

Dulu orang Kristen dan gereja beranggapan politik itu kotor dan duniawi, maka harus dijauhi. Core business gereja adalah membina kerohanian umat, bukan mengurusi barang dunia fana itu. Tetapi sekarang terjadi perubahan yang cukup mencengangkan. Tidak sedikit orang Kristen, pendeta bahkan gereja yang tiba-tiba gandrung pada politik. Bahkan juga mencalonkan diri baik sebagai anggota legislatif maupun eksekutif, di tingkat lokal maupun nasional, sekalipun belum tentu memiliki pengalaman, pengetahuan dan kemampuan politik yang memadai.

Faktor-faktor penyebab gereja bersikap negatif terhadap politik

Kebanyakan gereja-gereja Kristen protestan di Indonesia adalah hasil pekabaran Injil yang dilakukan oleh badan-badan zending Belanda yang beraliran calvinis . Pada awalnya aliran ini tidaklah anti-politik. Calvin memang membedakan dengan tegas antara kekuasaan politik (dalam hal ini adalah pemerintah) dengan Kerajaan Allah, namun Calvin tidak memandang politik sebagai sesuatu yang kotor dan mesti dijauhi. Malahan Calvin sangat menjunjung tinggi kehidupan politik, sebagaimana ia tuliskan: kekuasaan politik itu adalah suatu panggilan, yang tidak hanya suci dan sah di hadapan Allah, tetapi juga yang paling kudus dan yang paling terhormat di antara semua panggilan dalam seluruh lingkungan hidup orang-orang fana Penghormatan ini berangkat dari pemikiran bahwa politik atau pemerintahan merupakan sarana untuk menegakkan apa yang baik dan benar, melindungi orang-orang yang benar dan menghukum siapa saja yang bersalah. Dengan adanya kekuasaan politik, diharapkan kehidupan masyarakat dapat berjalan dengan tertib, sehingga setiap orang dapat menjalani kehidupannya dengan tenteram. Dalam kaitan dengan fungsi politik ini pulalah, Calvin berbicara tentang hubungan gereja dan negara. Bagi Calvin negara berfungsi melindungi dan memajukan gereja yang benar serta memerangi dan mencegah penyebaran agama-agama palsu. Namun bukan berarti bahwa Calvinmenganut paham “gereja-negara”. Pemahaman Calvin lebih didasari atas pertimbangan bahwa bagaimanapun juga negara mesti tunduk pada firman Allah. Itu sebabnya mereka harus turut serta dalam memajukan gereja yang benar. Sekalipun Calvin dan calvinis mula-mula tidaklah anti-politik, namun kita perlu menyadari bahwa calvinis yang masuk ke Indonesia telah diwarnai pula oleh semangat pietisme yang sangat berpengaruh di Eropa – khususnya di Belanda dan Jerman – sejak abad 18.5 Pietisme yang berasal dari kata Latin pietas yang artinya “kesalehan” sangat menekankan tiga hal utama: kelahiran kembali, pertobatan dan kekudusan hidup (baca: moralitas). Dari situ kita bisa melihat ciri lain dari semangat pietisme ini, yaitu individualistik. Kesalehan individu mendapatkan tekanan yang sangat besar. Akibatnya kesalehan sosial tidak mendapat tempat sama sekali dalam semangat pietisme ini.

Politik: negatif ataukah positif?

Pandangan yang mengatakan bahwa politik itu kotor dan berlumuran dosa sebenarnya keliru, namun dapat dipahami. Sepak terjang (sebagian) aktor politik yang seringkali tidak memberikan citra positif atas dunia ini ikut menguatkan paham yang keliru ini. Padahal sebenarnya politik sama dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan manusia. Ia bahkan juga dapat disamakan dengan kegiatan pelayanan gerejawi. Sesuatu yang mestinya mulia dan luhur, namun bukankah pelayanan gerejawi pun dapat diselewengkan untuk maksud-maksud yang tidak terpuji Secara epistemologi, politik berasal dari kata polites artinya penduduk (citizen). Terkait dengan itu politik sangat berkaitan dengan kemampuan untuk mengelola, menyusun maupun membuat kesepakatan dalam kerangka kehidupan bersama sebuah masyarakat. Aktifitas politik ditujukan untuk menciptakan dan melaksanakan pranata-pranata sosial dan normatif yang memungkinkan masyarakat manusia hidup dengan tertib, aman, tenteram dan sejahtera. Agar supaya efektif dibutuhkanlah otoritas atau kekuasaan. Karena politik pada akhirnya berhubungan dengan kekuasaan, maka tidak mengherankan bila politik juga disalah-gunakan semata untuk mengejar dan merebut kekuasaan belaka. Dan semakin besar sebuah kekuasaan digenggam, seperti kata Lord Acton, semakin besar pula tendensi penyimpangannya. Tanpa kontrol dan pembatasan, akan mudah terjadi abuse of power. Untuk itu tidak hanya dibutuhkan sistem dan aturan main politik (konstitusi, undang-undang dan perangkat hukum yang lain) yang baik, tetapi juga dibutuhkan etika politik. Sejarah manusia sudah membuktikan bahwa ketika politik dijalankan tanpa etika, maka yang terjadi bukanlah kemaslahatan masyarakat umum, melainkan krisis keadilan, kemanusiaan dan ketentraman

Etika Politik dan konteksnya

Dalam etika, konteks memainkan peranan amat penting. Konteks kita adalah Indonesia dan Indonesia adalah bagian dari Asia. Salah satu ciri khas dari Asia adalah peran agama yang menonjol dalam kehidupan masyarakatnya. Anwar Barkat, seorang pakar ilmu politik dari Pakistan, dalam konsultasi yang diadakan oleh Dewan Gereja-gereja Dunia tentang etika politik di Cyprus mengatakan bahwa sekalipun Asia memiliki keragaman budaya, agama dan pengalaman sejarah, namun ada beberapa kesamaan yang cukup menonjol di antara bangsa-bangsa di Asia, yaitu: sebagian besar pernah menjadi wilayah jajahan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika, dan kedua, agama memainkan peranan penting dalam masyarakat Asia. Bagi masyarakat Asia, sumber etika politik tidaklah berasal dari filsafat-filsafat positivistik sebagaimana dilakukan oleh masyarakat Eropa, melainkan dari agama atau refleksi filosofis yang berorientasi pada agama. Berbeda dengan masyarakat barat yang amat dipengaruhi oleh budaya dan tradisi Yudeo-Kristen, sehingga masyarakatnya relatif lebih homogen, tidak demikian dengan Asia. Dalam keberagaman Asia, khususnya Indonesia setiap tradisi keagamaan tentunya harus mendapat ruang yang cukup untuk menyatakan pemikiran-pemikiran etisnya. Upaya-upaya dari kelompok tertentu yang mencita-citakan negara-agama, atau mendominasi kebijakan-kebijakan politik dengan warna tradisi keagamaan tertentu, sudah pasti tidak akan menciptakan kondisi yang adil, benar dan dengan demikian juga tidak akan menciptakan perdamaian. Karena politik menyangkut hajat hidup orang banyak, maka sudah seharusnya politik itu diarahkan dan dimanfaatkan untuk menciptakan kesejahteraan bagi semua orang, atau at least sebanyak mungkin orang. Pada titik inilah politik membutuhkan sumbangan etika dari berbagai tradisi keagamaan yang dianut oleh masyarakatnya. Karena konsep tentang yang baik, adil, benar dan menyejahterakan bisa berbeda-beda antara satu tradisi keagamaan dengan tradisi keagamaan yang lain. Selain dari keberagaman tadi, Indonesia juga memiliki aspek lain yang harus diperhatikan secara serius yaitu kemiskinan.

Etika politik Kristen

Dalam kesempatan yang amat terbatas ini tidak mungkin kita membicarakan secara mendetil etika Kristen dalam bidang politik. Oleh karena itu di sini hanya akan dipaparkan beberapa prinsip dasar dalam perumusan etika Kristen dalam bidang politik. Untuk itu saya akan merujuk pada hasil-hasil konsultasi yang diadakan oleh WCC di Cyprus yang membicarakan masalah etika politik tersebut. Dalam konsultasi itu disepakati beberapa hal penting dan mendasar berkaitan dengan pokok pembicaraan kita, yaitu: 1. Perlunya pemahaman yang holistik mengenai kesaksian alkitabiah Seperti telah disinggung di atas bahwa pendasaran etika Kristen hanya pada bagian-bagian tertentu saja dari kesaksian Alkitab, tidaklah memadai. Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan dan pemahaman yang lebih holistik atas isi Alkitab. Pendekatan yang holistik akan menolak segala bentuk absolutisasi atas bagian-bagian tertentu dalam Alkitab, menerima dan menggunakan secara kreatif kepelbagaian kontekstual, dan fokus utama pada kesaksian biblis tentang Yesus Kristus dan Kerajaan Allah. Penekanan atas keutuhan dan keseluruhan Alkitab tidak berarti mengabaikan berbagai tekanan yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dalam Alkitab. 2. Keterkaitan antara yang historis dengan yang eskatologis Umat beriman yang hidup di dalam dunia ini berada dalam konteks sejarah. Ia bagian dari sejarah dan dengan demikian menjadi bagian pula dari realitas politik yang ada baik lokal maupun global. Namun pada saat yang sama setiap orang beriman juga hidup dalam janji dan pengharapan eskatologis. Tugas umat beriman adalah menjaga ketegangan ini secara kreatif. Benar bahwa kedua realitas ini berbeda; segala tindakan manusia dalam sejarah bersifat relatif, dan semuanya itu harus dilihat dalam terang tindakan Allah yang akan menggenapi janji eskatologisNya. Oleh karena itu segala tindakan politik umat beriman juga harus senantiasa dilakukan dalam terang dan mengacu pada janji eskatologis Allah yang akan menghadirkan KerajaanNya secara sempurna. 3. Dua simbol kunci Dua simbol kunci penting dalam rangka memahami etika politik Kristen adalah, pertama, simbol yang diambil dari Perjanjian Lama, yaitu komunitas perjanjian (covenant community). Simbol ini melambangkan hubungan yang baik antara Allah dengan umatNya. Dan relasi tersebut menjadi dasar dari pemahaman (alkitabiah) tentang keadilan, kebenaran dan perdamaian (shalom). Simbol yang kedua adalah kerajaan atau komunitas mesianis (messianic community or kingdom). Sekalipun simbol kedua ini berakar pada simbol yang pertama, namun ia juga memiliki identitas dan integritas sendiri. Kerajaan mesianis adalah komunitas mesianis dari suatu perjanjian baru di dalam Yesus Kristus. Dan ia mengarah pada suatu komunitas tanpa kekuasaan untuk mendominasi, dan komunitas yang di dalamnya janji Allah untuk tinggal di antara umatNya tergenapi, sehingga umat memerintah bersama dengan Mesias. Manifestasi dari komunitas ini bermuara pada salib Kristus, Mesias yang menderita. Inilah simbol eskatologis dan ia tidak bisa diubah begitu saja ke dalam ideologi politik dalam realitas historis. Tetapi simbol ini penting untuk menjaga agar supaya umat beriman tetap memiliki perspektif kritis dalam menafsirkan sejarah politik dan memelihara suatu visi yang berpengharapan yang melampaui pengharapan-pengharapan historis.


Misi pembaharuan dalam konteks globalisasi

Misi pembaharuan dalam konteks globalisasi

Philip Wickeri

Perang terhadap terorisme, imperium, globalisasi: konteks dunia sekarang menonjolkan krisis dunia Kristen dan tantangan yang muncul bagi misi Kristen. Kristen dan gereja dipanggil untuk bertobat dan pembaruan misi. Wickeri, seorang mantan misionaris di Asia sekarang mengajar Dunia Kekristenan di San Francisco Theological Seminary dan Graduate Theological Union (AS), berpendapat bahwa pembaruan misi harus didasarkan pada gambar alkitabiah kenosis (pengosongan diri) dan Oikos (rumah tangga).

"Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dalam segala kepenuhannya."

Yohanes 10:10

Kita mulai dengan ekspresi syukur yang mendalam, untuk semua bahwa Allah telah membawa kami di sini hari ini. Dalam surat kepada kami gereja kami menegaskan syukur kepada Allah kami yang telah memanggil kita untuk menjadi mitra dan rekan kerja dalam misi (1 Kor 3.9). Kami juga bersyukur untuk kesaksian gereja-gereja dari tradisi Reformasi itu, dalam persekutuan dengan keluarga ekumenis yang lebih luas, berusaha untuk mewartakan Injil rekonsiliasi dan keselamatan, keadilan dan perdamaian, penyembuhan dan keutuhan, dalam kata dan perbuatan, dan terutama untuk saksi perempuan, yang telah memainkan peran yang signifikan, tetapi sering diakui, peran dalam misi gereja kami.

Misi adalah kehidupan gereja di dunia. Dunia, bahkan seluruh kosmos, adalah karena misi Allah. Untuk gereja-gereja terutama keluarga gereja-gereja Reformasi, misi selalu berada di pusat pemahaman kita tentang apa gereja itu. Kita hanya dapat memahami gereja di cahaya misinya. Dalam Injil Yohanes, Kerajaan Allah adalah dinyatakan Yesus sebagai pesan kehidupan dalam segala kepenuhan, sebuah rasa pendahuluan dari janji yang ditawarkan tanpa syarat kepada semua orang. Tapi kita hidup dalam suatu waktu di mana sebagian besar orang di dunia kita bahkan belum rasa sebagian hidup dalam segala kepenuhannya yang berarti. Pandemi AIDS, "perang melawan terorisme", kemiskinan yang memburuk dan degradasi lingkungan telah meletakkan kelangsungan hidup banyak orang dan budaya dipertaruhkan. Dalam situasi ini, apa tidak misi yang berarti bagi kehidupan gereja di dunia ? Jika Injil adalah "Kabar Baik" untuk orang-orang di dunia, maka kita perlu untuk melihat misi dengan cara-cara yang peoplecentred dan kehidupan berpusat.

Visi gereja mula-mula adalah visi hidup bagi seluruh bumi yang berpenduduk, visi yang merupakan reinterpretasi kreatif pada zaman Yesus mengumumkan Kerajaan Allah dalam hidupnya di dunia ini. Dalam hal ini visi itu pada dasarnya berbeda dari visi baru globalisasi dan Kekuasaan. Pada zaman Yesus, seperti dalam kita sendiri, ada berbagai visi global, sekuler dan agama, mendominasi dan demokratis, Kekuasaan dan membebaskan. Kontras antara visi Kristen untuk dunia dan visi kekuasaan dan globalisasi adalah tantangan gereja-gereja kami untuk tanggapi lagi. Di banyak titik dalam sejarah kita, gereja telah ditantang untuk menafsirkan kembali misi Allah dalam cara-cara baru dan kreatif. Dalam transisi dari Yahudi ke bangsa-bangsa Kristen lain, gereja ditantang untuk menjadi lebih inklusif. Pada abad keempat, gereja- gereja ditantang untuk mempertahankan peran profetis seperti itu menjadi agama Kekaisaran Romawi. Pada abad kelima belas, para leluhur kita di Eropa ditantang untuk memberikan kehidupan baru bagi komunitas mereka dengan mengandalkan Firman saja. Sebagai Gerakan misionaris yang tersebar di seluruh dunia, gereja-gereja ditantang untuk memikirkan kembali Injil yang radikal dalam budaya dan situasi baru agama. Pada abad terakhir, gereja-gereja dipanggil untuk menanggapi sekali lagi tantangan ekumenisme, sehingga dunia mungkin percaya. Gereja-gereja tidak selalu setia untuk tantangan ini, tapi, semper reformanda, gereja-gereja kita terus merespon dan dapat diubah melalui dan dalam pesan Yesus Kristus. Ada banyak titik balik dan situasi krisis dalam sejarah kita gereja. Kita sedang menghadapi krisis baru dan sebuah titik balik baru dalam kekristenan hari ini, dibawa oleh globalisasi dan kekuasaan.

Globalisasi dan Kekaisaran (Kekuasaan)

Visi Kristen di dunia sangat kontras dengan ideologi dominan globalisasi dan kekuasaan. Kekuatan pendorong globalisasi adalah penerapan kriteria pasar ke seluruh area kehidupan, sebuah gerakan menuju pasar yang bersatu yang diarahkan oleh negara-negara di Utara dan oleh lembaga keuangan internasional, dimana negara bangsa (Nation state) dan ekonomi dunia menjadi semakin terintegrasi dan terkait satu sama lain. Globalisasi difasilitasi oleh komunikasi baru teknologi dan demokratisasi, tetapi disutradarai oleh ekonomi neoliberal, yang mempengaruhi politik, masyarakat, budaya dan agama di mana-mana. Ada berbagai aspek globalisasi dimana pasar menjadi kategori atau syarat utama. Ideologi neoliberal hasil globalisasi dalam fragmentasi global dan sebuah "benturan peradaban "yang, dalam kata-kata Samuel P. Huntington, adalah bentrokan antara Barat dan Rest. Namun, globalisasi tidak membenarkan diri, juga tidak benar-benar pasar bebas. "Tangan tersembunyi" dari pasar memerlukan sebuah "tangan besi" politik dan kekuasaan militer (Thomas Friedman). Kekuasaan itu sekarang dikerahkan oleh satu negara dan satu Negara sendirian, yaitu Amerika Serikat. Negaraku melemparkan bayangan gelap yang panjang dalam dunia.

Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa Amerika Serikat adalah pusat dari kekuasaan baru dengan sebuah visi untuk dunia, erat terkait dengan globalisasi neoliberal. Amerika Serikat adalah satu-satunya pemerintah di dunia yang beroperasi pada skala global. Saya menggunakan kata Kekaisaran (Kekuasaan), tidak figuratif atau kiasan, tetapi secara politik, ekonomi dan militer. Beragam analis, dari seluruh spektrum politik di setiap bagian dunia, yang mendesak gereja dan LSM lainnya untuk mempertimbangkan implikasi kekuasaan luas dan implikasi penting bagi pemahaman kita tentang globalisasi pada tahap baru.

Ini adalah Kekaisaran berbeda daripada kerajaan masa lalu. Tidak ada di dalam dan di luar Kekaisaran. Kekaisaran telah merambah internal politik, ekonomi, budaya dan struktur sosial di dunia. Kekaisaran merekonstruksi identitas, salib semua batas; itu mengatasi negara bangsa (Nation State) dan mereproduksi kebudayaan. Amerika Serikat pusat Kekaisaran, penyelenggara keuangan, wasit politik dan militer penegak hukum. Tapi anda bisa menjadi warga Negara, baik di Kekaisaran Nairobi atau New Delhi semudah anda dapat di New York atau Los Angeles.

Ketika Kekuasaan merasakan dirinya menjadi terancam, para pemimpinnya tidak akan ragu untuk menggunakan segala cara yang diperlukan untuk membawa hal-hal di bawah kontrol dan memperluas pengaruh. "Perang melawan terorisme," oleh karena itu, adalah perluasan dari kekuasaan itu, globalisasi adalah cara lain. Dalam kata-kata Presiden Bush, "Amerika Serikat akan 'menggunakan kesempatan saat ini "(yaitu, perang melawan terorisme) untuk membawa demokrasi, pembangunan, pasar bebas dan perdagangan bebas ke setiap sudut dunia. " Perang di Afghanistan, Irak dan lain-lain tempat, memiliki konsekuensi langsung pada setiap negara di dunia, dan bagi misi gereja.

Kekuasaan telah membentuk, menata dan membagi dunia Kristen. Di Amerika Serikat, konteks saya sendiri, beberapa teolog dan organisasi ekumenis telah mulai untuk mengkritik "teologi kerajaan " Amerika yang baru, yang menghubungkan kebijakan luar negeri kita ke agama terinspirasi "misi" yang kita sekarang promosikan ke seluruh dunia. Tapi kita perlu bantuan dari komunitas Kristen dunia. Gereja-gereja di luar negeri dari rentang yang sangat luas teologi dan tradisi (dan termasuk WARC) telah menimbulkan pertanyaan mengenai peran negara kita sebagai polisi dunia dan "Pelindung" dari kebebasan beragama. Apakah ini aspek kebijakan luar negeri Amerika, atau perhatian yang tulus untuk perdamaian dan hak-hak semua agama ? Dunia mengawasi kita dalam Accra untuk melihat apa lagi yang akan kita katakan.

Gereja-gereja yang terlibat dalam misi global dapat memilih untuk naik ekor mantel dari Kekaisaran atau mengkritik proyek Kekaisaran, tetapi mereka tidak dapat tetap netral. Juga tidak bisa kita anggap enteng pilihan ini, karena itu pasti akan mengarah kepada polarisasi masyarakat Kristen.

Krisis di dunia kekristenan

Globalisasi, Kerajaan (kekuasaan) dan "perang terorisme "memiliki hubungan langsung dengan apa yang banyak orang dalam konteks yang berbeda menyebutkan krisis di dunia kekristenan. Ada fragmentasi dalam komunitas Kristen, dan juga di dunia secara keseluruhan. Ada bruto tidak konsisten antara apa yang kita katakana dan apa yang kita lakukan dan mengerikan ketidakadilan dilakukan atas nama misi Kristen.

Kita hidup di masa perubahan mendasar bentuk dan struktur Gereja seperti yang kita kenal itu. Selama tiga atau empat dekade, gereja-gereja di Eropa dan Amerika Utara yang historis (atau utama) Protestan dan Katolik Roma telah berada di penurunan, apakah ini dinilai berdasarkan jumlah penganut, vitalitas kelembagaan atau sosial dan pengaruh budaya. Di Rusia dan Eropa tengah, Gereja Ortodoks dan gereja bersejarah kelembagaan telah menghadapi tantangan serius dalam masyarakat mereka sendiri, terutama karena pembubaran Uni Soviet lima belas tahun lalu. Pada saat yang sama, gereja-gereja pribumi di Asia, Afrika dan Amerika Latin telah tumbuh lebih cepat daripada sebelumnya. Dalam hampir setiap bagian dari dunia, telah terjadi dengan cepat munculnya gerakan Pantekosta, postdenominational gereja dan jaringan informal masyarakat Kristen. Roma Katolik dan gereja-gereja Protestan terus tumbuh di belahan selatan bumi, dan di antara etnis minoritas dan imigran baru di Utara. Gereja-gereja di seluruh dunia, menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh globalisasi, Kekuasaan dan perang melawan terorisme" yang dipimpin Amerika ". Tantangan ini, mengatur perubahan bersama pola pembaruan kelembagaan dan penurunannya, mendefinisikan kontur situasi oikumenis baru kami.

Krisis ini merupakan titik balik. Itu adalah krisis dalam pemahaman kita tentang isu yang dibangkitkan oleh "globalisasi" dan Kekaisaran, serta sebagai krisis dalam gereja dan misi. Implikasi teologis yang mendalam dari hal ini, memanggil kita untuk mengangkat pertanyaan mendasar tentang iman Kristen dan misi. Kata krisis -- peluang berbahaya di Cina – memiliki urgensi tentang hal yang secara akurat menggambarkan situasi kita. Ini mengisyaratkan ketegangan antara ketakutan dan harapan, bahaya dan kesempatan, Pada apa pun yang kita lakukan. Ini juga menunjukkan kebutuhan bagi orang Kristen untuk membuat pilihan tentang visi mereka untuk masa depan dunia.

Krisis di dunia Kristen memiliki dampak langsung pada lembaga oikumenis. Globalisasi belum ke sektor nirlaba atau kepada jemaat-jemaat. Meskipun banyak organisasi Kristen internasional di Utara telah membuat langkah besar baru dalam "pemasaran" produk-produk mereka, mereka sering melakukannya dengan mengorbankan gereja-gereja dan organisasi Kristen di Selatan. Dimana-mana, Gerakan oikumenis ini menghadapi krisis ekonomi yang serius, dan kementerian keadilan, advokasi dan solidaritas sangat terpukul. Kadang-kadang ini dipahami sebagai suatu perjuangan untuk hidup kelembagaan yang memprovokasi costcutting langkah-langkah dan perampingan di banyak gereja-gereja, denominasi, organisasi oikumenis dan seminari teologis. Betapa mudahnya kita menerapkan bahasa dunia usaha. Pemimpin Gereja khawatir tentang penurunan pasar saham, suku bunga dan fluktuasi mata uang, bahkan saat mereka mengeluarkan pernyataan kritis terhadap globalisasi dan komit dana untuk misi dan pembangunan. Kita terjebak di pasar ekonomi global, dan kita dipengaruhi oleh meningkatkan privatisasi program sosial, pajak akhir gereja di Eropa dan fluktuasi dalam investasi. Gereja membayar mahal untuk partisipasi mereka dalam globalisasi, tapi banyak yang masih merasa tidak ada pilihan lain.

Globalisasi dan Kekuasaan telah dihadapkan gereja dengan realisasi bahwa kita terlalu dilembagakan, dan dengan demikian mudah dimanipulasi. Kita membutuhkan lebih fleksibilitas dan desentralisasi. Sebagai bentuk kelembagaan pengalaman kekristenan mengalami penurunan, non-bentuk kelembagaan Kekristenan sedang meningkat di banyak tempat. Post-kelompok keagamaan mega-gereja, berbagai Pentecostalisms dan yang maju dari spiritualitas yang jelas di sebagian besar dunia. Kita mungkin hanya menyaksikan puncak gunung es dalam hal penurunan kelembagaan, karena di banyak tempat yang kita dengar ramalan rekonfigurasi radikal gereja-gereja seperti yang kita tahu. Kita membutuhkan reformasi dan revitalisasi. Ini berarti lebih dari revitalisasi lembaga, namun, apa yang kita butuhkan adalah pembaruan hidup bagi semua. Tantangan utama bahwa globalisasi dan Kekaisaran berpose untuk kita adalah masalah keadilan dan kekuasaan yang tidak memiliki hubungan yang setara. Pemisahan antara Utara dan Selatan dalam perekonomian dunia tercermin dalam pembagian serupa di gereja-gereja kita. Gereja di Selatan berpendapat bahwa komitmen keadilan global dalam gereja dari utara telah menghilang. Misi telah dikaburkan oleh kelangsungan hidup mentalitas, seperti kita berusaha mencari pegangan ke suatu kemerosotan "penguasaan pasar" dalam lembaga yang ada. Krisis di dunia Kristen, yang mengarah pada inisiatif dan kreatif baru, seringkali mengarah pada usaha-usaha penjagaan diri sendiri, lupa ajaran Kristus tentang siapa yang akan menyelamatkan nyawanya harus kehilangan nyawanya.

Panggilan untuk bertobat

Kredibilitas pesan kami di dipertaruhkan jika kita sebagai komunitas global gereja tidak menanggapi agama, budaya, politik dan krisis ekonomi yang sedang diperhadapkan pada kita. Kita harus bekerja untuk perubahan dalam struktur-struktur dimana kita menjadi bagian di dalamnya. Injil membebaskan kita untuk merespon dengan cara-cara baru kreatif untuk krisis yang kita hadapi. Itu mengajarkan kita untuk menjadi terbuka terhadap gerakan Roh. Memaksa kita untuk bertanya sekali lagi: jika kita adalah bagian dari satu tubuh Kristus di seluruh dunia, bagaimana gereja-gereja kita berhubungan satu dengn yang lain dan terlibat dalam misi perdamaian dan pembangunan masyarakat di dunia hari ini ? Apakah kita siap untuk berubah ? Kita siap untuk mengakui bahwa kita belum setia pada panggilan misioner di situasi baru ? Apakah kita siap untuk mulai dengan pengakuan dan pertobatan, atas apa yang telah kita lakukan dan atas apa yang telah kita tinggalkan ?

Ini bukan tanpa alasan bahwa dalam pola ibadah Reformasi, pengakuan doa kita sering datang tepat setelah syukur yang kita berikan kepada Allah. Begitu juga dalam misi, setelah mengucap syukur untuk apa yang sudah Allah lakukan, kita juga dipanggil untuk pertobatan.Kami belum jelas membedakan antara visi misi global dan visi misi globalisasi dan kekuasaan. Misi telah sering dipahami dan dipraktikkan sebagai cara menguasai, sehingga dalam banyak konteks, misi Kristen dianggap sebagai wajah agama dari dominasi colonial Barat kemarin atau dari globalisasi dan kekuasan hari ini. Misi terlalu sering menjadi sebuah arus yang mengalir hanya dalam satu arah: Utara ke Selatan, dari yang kuat untuk yang tak berdaya, dari laki-laki ke perempuan, dari Putih ke Hitam, dari Barat ke Rest. Misi sudah dikurangi menjadi sesuatu yang sebagian orang lakukan kepada yang lain, dibanding suatu pembagian dan keikutsertaan yang timbal balik di dalam misi kasih Allah untuk keseluruhan dunia.

Kami berlatih misi sempit dengan memahami cara-cara yang menekankan pertumbuhan institusional gereja atau agenda individualistis sempit. Misi terlalu sering dipraktekkan dalam satu dimensi cara, menekankan keselamatan spiritual yang berlebihan dengan mengabaikan ancaman sistemik bagi kehidupan yang miskin, yang terpinggirkan dan yang dikucilkan. Sering penginjilan dikurangi menjadi proselytism atau kegiatan menyebarkan agama vis-à-vis Gereja-gereja Kristen lain, daripada panggilan ke konversi yang terus-menerus dari semua dan proklamasi Kerajaan Allah. Jika Injil adalah "Kabar Baik" untuk orang-orang di dunia, panggilan untuk kehidupan dalam segala kepenuhan, maka kita perlu lihat misi dengan cara-cara yang lebih peoplecentred dan kehidupan berpusat.

Kita sering merasa puas untuk meninggalkan berbagai hal seperti mereka yang berada di gereja-gereja kita agak daripada merespon tantangan baru yang mendesak dan berpartisipasi dalam apa yang Tuhan lakukan dalam dunia untuk membuat dan menjaga kehidupan manusia. Kami telah puas dengan kelangsungan hidup lembaga kita, daripada kehilangan diri kita sendiri dalam Misi Allah kepada dunia. Kami telah menolak upaya revitalisasi di gereja-gereja karena mereka berasal dari sumber-sumber asing. Kita tidak bicara terus terang dalam situasi-situasi ketidakadilan, juga tidak cukup kami berkomitmen bahwa sumber daya dan energi kita dengan usaha-usaha untuk pembaruan dan perubahan.

Lebih khusus lagi, kita belum memadai berkomitmen diri untuk misi penyembuhan dalam menghadapi pandemi AIDS; misi sebagai perdamaian dalam menghadapi "perang melawan terorisme "; misi pembangunan di dunia memperburuk kemiskinan; misi sebagai rekonsiliasi dalam gerakan menuju Kesatuan dan pemahaman antaragama Kristen; misi sebagai pemulihan ciptaan dalam dunia yang mengalami degradasi lingkungan; dan misi sebagai penginjilan di mana perempuan dan laki-laki membutuhkan Yesus Kristus.

Pembaruan misi

Misi diperbarui melalui tindakan pertobatan. Iman dalam Yesus Kristus menyajikan kami dengan visi kehidupan dalam oikumene yang merupakan alternatif globalisasi dan Kekuasaan. Ini adalah visi penuh harapan dalam masa yang sulit di mana kita hidup, sebuah visi yang berasal dari pemahaman alkitabiah tentang keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Pada saat yang seperti ini, kita dipanggil untuk berbicara dan hidup dalam pesan Yesus bagi kehidupan dalam segala kepenuhan, supaya pembebasan dilihat dari kuartal lain dan dunia kita binasa (Est 4:14).

Dalam kehidupan di gereja kita, dalam hubungan yang dijaga gereja-gereja kita satu sama lain, dalam banyak program dan proyek-proyek misi di mana kita terlibat, dalam budaya dan pluralitas agama, kita melihat tanda-tanda Kerajaan Allah yang menunjukkan di mana kita harus pergi. Kita adalah misi dari umat Allah di antara semua Allah bangsa-bangsa, sebuah misi yang memungkinkan kita untuk melihat prioritas Allah bagi kehidupan dalam segala kepenuhan dan bagaimana hal itu harus hidup. Yesus berjanji semua mempunyai hidup dalam kepenuhan menyarankan diperlukan arah baru hari ini, serta menuju misi pembaharuan.

Tugas kita di sini di Accra adalah bagaimana pembaruan misi mungkin bekerja dalam situasi baru kita. Dewan umum Aliansi adalah sebuah kesempatan unik untuk penuh semangat mendorong maju apa yang oleh eksekutif komite disebut "pembaruan gereja kami [melalui] pemahaman yang segar dan keterlibatan dalam misi ... fokus pada misi yang akan menghasilkan pemikiran misiologis segar dan energi sebagai tanggapan terhadap konteks baru di mana gereja-gereja Reformasi menemukan sendiri pada awal abad 21". Hal ini memerlukan transformasi praktik saat ini dan pemahaman misi Kristen.

Kita perlu untuk merebut kembali tanah yang hilang. Kita perlu kreatif membayangkan cara-cara alternatif di mana gereja berhubungan satu sama lain. Jika kami benar-benar menjadi pelayan dan rekan kerja dalam misi penciptaan dan penebusan Tuhan, sebuah misi yang dipercayakan kepada kita sebagai karunia dan tugas, maka kita harus melihat misi sebagai sesuatu yang menawarkan penyembuhan dan keutuhan untuk dunia. WARC adalah gerakan penyembuhan, perdamaian, rekonsiliasi, pembangunan, memulihkan penciptaan dan penginjilan. Lebih melawan kesatuan yang dipaksakan globalisasi dan Kekuasaan, kami menegaskan kembali pentingnya partikularitas dan lokalitas dalam relasional dan mendamaikan pemahaman kesatuan dalam tubuh Kristus. Dari semua ini apa yang mungkin berarti untuk Aliansi sebagai komunitas gereja dalam misi dalam kemitraan dengan keluarga oikumenis yan lebih luas ?

Izinkan saya menyarankan di sini dua gambaran untuk pembaruan misi. Kenosis (pengosongan diri). Pembaruan misi harus didasarkan pada kenosis dari misi, dan ini menikuti ucapan syukur dan pengakuan kita. Suatu kenosis dari misi diperlukan dalam identifikasi dengan Tuhan Yesus Kristus (1 Kor 8.8-9) dan oleh karena itu dengan orang miskin, yang terpinggirkan dan yang dikecualikan (Mat 25). Dalam pengertian ini misi dimulai dengan ketidakberdayaan, tidak adanya gerakan. Kekuatan Injil dibuat sempurna dalam kelemahan kita (2 Kor 12.9). Sebuah kenosis misi yang melibatkan kedua pemberdayaan dan mengosongkan diri, untuk gereja-gereja di Selatan dan di Utara, sehingga yang bersama-sama kita dapat menjadi bagian dari sebuah gerakan yang mengguncang gereja dan masyarakat, dan panggilan baik untuk pembaharuan.

Misi di atas semua berarti berbagi. Ini bukan berarti bahwa kita memiliki sesuatu untuk diberikan dan orang lain memiliki sesuatu untuk menerima, tetapi harus ada "keseimbangan yang adil" (2 Kor 8:13 -14). Beberapa tahun yang lalu, sekelompok pekerja pembangunan dari Inggris yang berkunjung ke Sudan. Mereka diberitahu bahwa pendeta Sudan sedang membutuhkan sepeda untuk mengelilingi jemaat-jemaat mereka, sehingga gereja mereka menawarkan beberapa ratus sepeda. Gereja sangat senang dengan tawaran ini, dan mereka bertanya apa bisa dilakukan gereja di Sudan untuk Britania. "Tidak ada," adalah jawabannya. "Kalau begitu kami tidak dapat menerima sepeda ini. "Berbagi dalam misi adalah dua arah jalan yang melibatkan pengosongan diri keduanya dan pemberdayaan.

Ada berbagai cara untuk berbicara tentang kenosis dalam misi. Beberapa orang menggunakan pemahaman misi sebagai kebidanan, Galatia 4:19. Sementara yang lain, dan yang diabaikan komisi Perjanjian Baru, menekankan kekuatan dari kelemahan (misalnya, Luk 1:38; Yoh 12:14-17; Phil 2). Yang lain menarik bagian-bagian dari Alkitab Ibrani seperti Mikha 4:5 atau Amos 9:7 yang memberikan perspektif baru tentang hubungan tradisi-tradisi keagamaan lain. Semua menyarankan kemungkinan pemahaman baru misi dan misiologi. Mereka berasal dari penguasan praktek dan menolak dominan kekuasaan missiologies yang berpusat dari masa lalu, seperti mereka menarik tentang perlunya mengosongkan diri dalam misi. Ini adalah salah satu sumber misi pembaruan.

Rumah tangga (Yunani: Oikos). Kita mengasosiasikan misi di jalan Yesus dengan berbagai gambar terkait dengan kehidupan rumah tangga (1 Pet 2). Persekutuan (koinonia), kemitraan, keramahtamahan, pelayanan, inklusif dan terima kasih semua yang berhubungan dengan gambar ini. Gambaran rumah tangga muncul dari perempuan-perempuan di salah satu pertemuan awal studi misi kami. Hal menarik pada wawasan perempuan dan pengertian misi, dan berbicara fasih kepada umat Allah yang dikirim untuk semua bangsa Allah.

Rumah tangga kita adalah hadiah dari Tuhan, tetapi sekarang dalam kekacauan dan membutuhkan pembangunan dan perbaikan kembali. Sebuah rumah tangga misiologi mencakup tiga aspek mendasar dimana hidup nama-nama yang memiliki akar yang sama dalam kata Oikos: ekonomi, ekologi, ekumenisme. Sebuah rumah tangga misiologi evangelis mencakup perjuangan melawan ketidakadilan ekonomi, terhadap kehancuran ekologi dan melawan dinding kemarin dan hari ini yang mencegah persekutuan Kristen, persekutuan manusia, solidaritas antar agama.

Rumah tangga kami yang ditempelkan dalam budaya-budaya rumah tangga tertentu, dan tidak pernah diringkas dalam sebuah pemahaman yang disamratakan dan dipaksakan dari atas. Namun dapat menjadi pemahaman untuk "semua di setiap tempat ". Di New Delhi Majelis World Council of Churches pada tahun 1961, bahasa "semua di setiap tempat" diadopsi untuk berbicara tentang kesatuan dalam keragaman dan misi dan saksi. "Semua di setiap tempat" mengakui baik global dan lokal dalam dimensi kehidupan semua kepenuhannya. "Semua di setiap tempat" berbeda dari "satu di semua tempat" yang merupakan akhir hasil dari globalisasi dan neoliberal Empire. Sebaliknya, "semua di setiap tempat" berarti kesediaan untuk memperluas keramahan kepada orang lain di tempat kami, serta kemauan untuk menerima keramahtamahan di tempat lain.

Dalam pengalaman saya sendiri sebagai seorang misionaris selama hampir 25 tahun di Asia Timur, Saya telah diterima ke dalam banyak rumah tangga, dan aku telah menerima jauh lebih daripada yang aku pernah berikan. Sambutan selamat datang yang misionaris terima merupakan hal penting untuk pekerjaan apa pun yang bisa kita lakukan. Juga berarti bahwa kita harus menghormati rumah tangga, seperti kita melepas sepatu dan masukkan masuk ke dalam. Kita harus menerima apa yang ditawarkan pada kita, menawarkan apa yang kita memiliki dan dengan lapang dada membantu ketika kita diminta. Menjadi bagian dari rumah tangga menjadi bagian dari keluarga yang lebih luas, sehingga di mana pun kita, kita berada di rumah bersama saudara-saudara kita.

Peralatan Rumah Tangga misiologi mengekspresikan dirinya dalam cerita dan cerita rakyat, seni dan lagu, makanan dan persahabatan. Ide rumah tangga selalu majemuk atau jamak, karena rumah tangga ada di samping/sepanjang rumah tangga yang lain. Misi menyiratkan keramahan, persahabatan dan keramahtamaan antar rumah tangga. Dalam gambarn rumah tangga, kami tidak membeda-bedakan antara swasta dan ruang-ruang publik, antara apa yang terjadi di di dalam dan di luar rumah, antara pusat dan margin dunia, antara Kristen dan tradisi agama lain. Ini akan memerlukan apa yang telah disebut sebagai "menggambar ulang batas-batas" antara Kristen dan tradisi-tradisi keagamaan lain.

Kami mengangkat citra kenosis dan rumah tangga karena mereka dapat berhubungan satu sama lain dalam teologi dan praktek, dan karena mereka perlu dikembangkan lebih lanjut. Mengosongkan dan pemberdayaan, rumah tangga dan keramahtamahan, diperlukan untuk pembaruan dalam dunia yang didominasi oleh globalisasi dan Kekuasaan. Mari kita semua bekerja untuk memberikan bentuk lebih lanjut untuk ini di sini di Accra, bagi pembaruan misi dan pembaruan gereja-gereja kita.

Terima kasih.